وَابْتَغِ فِيْمَا ءَاتىك اللهُ الدَّارَ الأخِرَةَ وَلَا تَنْسَ نَصِيْبَكَ مِنَ الدُّنْيَا، وَأَحْسِنْ كَمَا أَحْسَنَ اللهُ إِلَيْكَ وَلَا تَبْغِ الفَسَادَ فِى الأرْضِ، إِنَّ اللهَ لَا يُحِبُّ الْمُفْسِدِيْنَ (القصص: 77)
Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan. (Q.S : Al-Qoshos (28), 77)
“kenapa gak kena ya? Coba kena kan bagus, hitung hitung sebagai hukuman atas orang yang menyelewengkan agama Allah”
Itulah kalimat yang terlontar dari seorang kawan kami pasca peristiwa bom buku yang terjadi di rutan kayu dan penemuan bom di sebuah gereja. Kawan kami ini beranggapan bahwa obyek yang sebenarnya menjadi sasaran pengeboman tersebut patut mendapatkan hal itu karena sikapnya yang “tidak baik” kepada tuhan.
Sekilas statemen tersebut merupakan suatu pembelaan yang terpuji karena sikap protektif-subjectif terhadap Islam. Dan juga pelaku bom buku ini (terlepas dari isu adanya permainan pemerintah dalam mengalihkan perhatian public) pasti berpendapat bahwa perbuatan semacam itu adalah suatu kemuliaan sebagai wujud kecintaan dan pembelaannya terhadap agama. Tetapi benakah ajaran universal tuhan mengajakan seperti ini?